Rabu, 24 November 2010

mengapa warga gunung merapi enggan mengungsi

Kata pengantar
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT. bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata pelajaran ilmu social dasar dengan membahas penyakit warga gunung merapi.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu dosen bidang studi ilmu sosial dasar yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.









Warga Enggan Mengungsi, Nunggu Perintah Kiai Petruk
SEMARANG ( Pos Kota ) – Alasan sebagian warga lereng Merapi tidak bersedia dievakuasi meski status gunung tersebut sudah meningkat menjadi “Awas” karena mereka meyakini belum mendapat perintah mengungsi dari Kiai Petruk, sebagai penguasa gunung Merapi.
Mitos tersebut hingga kini begitu diyakini penduduk lereng Merapi, sehingga mereka memilih bertahan di desanya sebelum mendapat perintah dari Kiai Petruk .
Keyakinan penduduk lereng merapi inilah yang menyulut ketegangan dengan petugas evakuasi . Tetapi petugas evakusi berjanji akan memaksa warga untuk segera mengungsi bila kondisi Merapi semakin gawat .
Selain menggunakan pendekatan kepada warga, Pemkab Boyolali juga akan mengevakuasi paksa jika warga tetap bersikeras . Saat ini, selain menyiapkan tenda di Lapangan Selo, tim evakuasi juga telah memasang papan petunjuk arah di jalur evakluasi.
Hal tersebut merupakan antisipasi jika Merapi meletus, warga pun bisa cepat tiba di pengungsian. Sekitar tujuh ribu warga di tiga desa di kaki Gunung Merapi, menolak dievakuasi ke pengungsian.
Tiga desa tersebut adalah Desa Jrakah, Desa Telogo Lele, dan Desa Klakah. Sampai saat ini, baru ada sekitar 2.000 warga dari Desa Kemiren dan Kaliurang, kecamatan Srumbung, Magelang, yang telah bersedia meninggalkan rumah mereka yang berjarak sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi .

Warga Merapi enggan menggungsi
Gunung Merapi merupakan bagian dari pilar penting warga Yogyakarta
Tigapuluh dua warga sekitar Gunung Merapi meninggal akibat abu panas yang menyembur dari kawah gunung berapi paling aktif di Indonesia ini pada hari Selasa (26/10) sore, padahal seharusnya korban jiwa bisa dihindari.
Letusan Gunung Merapi ini memang sudah diramalkan sejak akhir minggu ketika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menetapkan status siaga setelah terjadi penggembungan kawah.
Media di Indonesia melaporkan status siaga ini membuat pihak berwenang memutuskan agar warga yang berada di lereng gunung itu segera mengungsi sebagai upaya mencegah jatuhnya korban.
Pada hari Senin (25/10) status Gunung Merapi ditingkatkan menjadi awas setelah penggembungan yang lebih cepat dan lebih besar daripada sehari sebelumnya, perintah yang keluar terhadap warga adalah pengungsian.
Korban yang meninggal sebenarnya bisa dihindari jika ada perencanaan
Namun, meninggalknya puluhan warga ketika gunung berapi itu meletus menunjukkan bahwa perintah untuk meninggalkan rumah tidak didengar dan diikuti oleh sebagian besar warga di Gunung Merapi.
Sejumlah warga yang sempat diwawancarai oleh BBC Indonesia dan media lain dikutip mengatakan mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari ketika letusan terjadi, sementara alasan mereka tidak mengungsi meski telah mendapat peringatan adalah tidak percaya peringatan itu akan terjadi karena pada tahun 2006 tidak terjadi letusan padahal mereka sudah mengungsi.
Aspek budaya
Selain itu, menurut pengajar Sosiologi Universitas Gajah Mada, Dr Mohammad Supraja, mengatakan bahwa bagi warga Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan yang menjadi sumber nafkah mereka, mulai dari pertanian hingga peternakan.
"Secara kultural ada semacam ikatan kuat antara masyarakat di sana dengan gunung berapi itu karena mereka merasa aman dan nyaman secara ekonomis," ujar Dr Mohammad Supraja kepada BBC Indonesia.
Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian.
"Pemerintah tampaknya tidak siap dalam menampung para pengungsi ini," ujar Dr Mohammad Supraja, "Dari kesaksian keluarga Ponimin yang diwawancara bisa didengar bahwa mereka tidak mengungsi karena melihat fasilitas kamp pengungsi yang tidak bisa memberi kesempatan warga untuk menjalankan kehidupan mereka".
Lokasi yang jauh dari pusat kegiatan inti warga membuat mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan sehari-hari ataupun menjaga harta benda yang ditinggalkan.
Dia menambahkan seharusnya pemerintah sudah memiliki satu rencana yang lebih menyeluruh dan lebih rapih dalam menghadapi satu bencana yang secara ilmiah diketahui akan terjadi.

Awas Merapi Abaikan Peringatan, Warga Merapi Enggan Mengungsi
Penampungan pengungsi Merapi
VHRmedia, Magelang – Warga lereng selatan Merapi tidak menganggap serius peringatan mengungsi yang dikeluarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. Posko pengungsian di lereng selatan Gunung Merapi masih tampak sepi.

Koordinator Posko Induk Bencana Merapi Kabupaten Magelang, Moch Damil Ahmad Yan, mengatakan BPPTK Yogyakarta merekomendasikan warga segera mengungsi. Namun, dari 2.260 warga di desa sekitar lereng selatan Merapi hanya 351 orang yang mengungsi.

Wilayah yang dianggap rawan antara lain 4 dusun di Kaliurang, Yogyakarta, dan 2 dusun di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang. ”Setelah ada surat BPPTK, Bupati Magelang langsung melakukan rapat koordinasi. Selanjutnya, Camat Srumbung dipanggil untuk melakukan evakuasi warga yang tinggal di dua desa itu,” kata Moch Damil Ahmad, Senin (25/10) malam.

Menurut Moch Damil Ahmad, terdapat 19 desa di Kabupaten Magelang yang masuk Kawasan Rawan bencana III. Dua desa di lereng selatan Merapi posisinya dianggap paling berbahaya.

“Kami langsung evakuasi. Namun, berdasarkan data sore tadi, yang mengungsi di dua barak pengungsian Tanjung dan Jeruk Agung, hanya 351 pengungsi. Jumlah itu sedikit,” ujar Moch Damil Ahmad.

Warga di 4 dusun di Kaliurang mencapai 1.525 orang. Sedangkan warga di 2 dusun di Desa Kemiren 774 orang. Menurut Damil Ahmad, sebagian warga masih enggan mengungsi. ”Masing-masing daerah mempunyai kearifan lokal sendiri tentang Gunung Merapi. Kami tidak berani memaksa mereka mengungsi. Pendekatan yang kami lakukan adalah pendekatan masyarakat, sehingga tidak mungkin main paksa seenaknya.”

Pawiro Sastro, warga Kaliurang, mengaku terpaksa tinggal di pengungsian. Sebenarnya nenek ini keberatan mengungsi karena harus meninggalkan ternaknya. ”Saya mengungsi karena menuruti pemerintah. Padahal, tempat tinggal saya itu aman dari Merapi. Saya disuruh mengungsi ketika pulang dari memetik cabai. Ternak saya tinggal dan diurus anak laki-laki saya,” ujarnya. (E1)

Merasa Aman, Warga Masih Enggan Mengungsi
Cukup mencengangkan, ketika instruksi mengungsi dari pemerintah tidak digubris oleh warga Kawasan Rawan Bencana (KRB) III di Klaten. Di lain pihak Pemkab sendiri setempat dinilai belum siap mengevakuasi warga, terbukti dengan minimnya logistik hingga sosialisasi ke wilayah itu.
”Pemerintah desa sudah diminta untuk mengimbau warganya mengungsi hari ini (kemarin -red) dan kami pun telah meneruskannya ke warga. Namun kenyataannya masih di rumah masing-masing,” terang Kades Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Suroso, Senin (25/10).
Dalam imbauannya ke warga, pihaknya telah menginformasikan status Awas Gunung Merapi, namun hal itu belum cukup kuat untuk menggerakkan warganya mengungsi. Warga, kata dia, mempunyai pertimbangan lain untuk memutuskan tetap tinggal.
Namun untuk mengawalinya, warga sendiri berinisiatif menyiapkan 15 truk pasir pengangkut pengungsi. Titik pengumpulan pengungsi pun dipusatkan di balai desa setempat dan di salah satu gedung sekolah.
”Ada 2.400 warga di sini sebagai calon pengungsi. Truk pasir milik warga juga sudah siap untuk mengangkutnya dari balai desa dan SDN II sebagai titik kumpul,” terangnya, kemarin.
Pada bagian lain, keputusan warga untuk mengungsi bergantung dari imbauan langsung dari pejabat daerah. Sekretaris Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Basuki mengatakan, sedianya Bupati, Kapolres, Dandim, ataupun pejabat berpengaruh bersedia menemui warga, maka mereka pun dapat diyakinkan untuk mengungsi.
Hingga kemarin petang, warga lebih memilih mempersiapkan diri daripada mengandalkan janji dari pemerintah. Mereka telah mengemasi barang-barang dan bersiap turun gunung dengan tanda-tanda dari Merapi. ”Hasil pendataan ada 23 truk yang bersedia mengangkut kapan saja,” jelasnya.
Aktivitas warga pun menurutnya masih normal, meski pengamatan Merapi melalui ronda kian digiatkan. Perlu diketahui, Desa Balerante dan Sidorejo terletak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Keberadaan warga di desa tersebut mengancam jiwa mereka jika sewaktu-waktu Merapi meletus.
Keengganan warga untuk meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi, sesungguhnya dilatarbelakangi trauma atas peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.
Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pascaerupsi Merapi tahun 2006.
Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.
Namun hingga pengungsian berakhir Desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.
Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.
Jawaban lebih jelas disampaikan Martono, warga dusun Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kemalang. Pajegan adalah salah satu kawasan hunian tertinggi di lereng Merapi daerah Klaten. Lokasi hunian itu hanya berjarak 2 kilometer dari puncak Merapi. Tahun 2006 lokasi tersebut terselamatkan oleh bukit Biyung Bibi dari semburan awan panas Merapi.
Sementara itu, juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan meminta masyarakat di Kawasan Rawan Bencana III mematuhi instruksi dari pemerintah untuk segera mengungsi terkait dengan peningkatan status Gunung Merapi dari Siaga menjadi Awas.


Gunung Merapi Waspada, Mbah Maridjan Enggan Mengungsi
25/10/2010

Status Merapi akhirnya resmi dinaikan menjadi Waspada sejak pukul 06.00 WIB pagi tadi. Pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah bala bantuan untuk mengungsikan warga yang tinggal di sekitar Gunung Merapi. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Gunung Merapi tahun ini dipastikan akan meletus dan letusannya bisa lebih eksplosif ketimbang letusan terakhir pada tahun 2006 lalu yang hanya mengeluarkan awan panas saja. Dari hari Sabtu lalu saja, Gunung Merapi tercatat telah terjadi enam kali gempa vulkanik dalam, 74 kali gempa vulkanik kedangkal, 525 kali gempa multivase, dan 183 kejadian guguran.

Namun di antara sejumlah warga yang diungsikan dari Gunung yang pernah meletus tahun 1930 tersebut, ada satu orang yang enggan untuk pergi dan memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Beliau adalah Mbah Maridjan, Pria yang juga merupakan juru kunci Gunung Merapi dan melakukan hal yang sama saat tahun 2006 lalu. Padahal Mbah Marijan hanya tinggal lima kilometer saja dari Puncak Merapi.

"Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini," kata Mbah Maridjan seperti dikutip dari vivanews.com

Meski tetap akan bertahan di Gunung Merapi, Mbah Marijan meminta warga untuk mengikuti anjuran Pemerintah agar mengungsi dari Gunung Merapi. Walaupun sebagai juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan tetap tidak dapat memprediksi kapan meletusnya Gunung tersebut. Ia meminta agar semua warga tetap berdoa agar letusan Gunung Merapi kali ini tidak menimbulkan kerusakan yang hebat. (RH